Beberapa waktu yang lalu jagat maya ramai dengan topik Kabinet Indonesia Maju. Salah satu tokoh yang mencuri perhatian adalah Nadiem Makarim, pendiri dan CEO Go-Jek yang diumumkan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Entah apa spesialnya mengomentari Pak Nadiem yang baru start saya tidak tahu, sama seperti tulisan ini pun tidak akan membahas beliau. Sebaiknya kita tunggu saja Program 100 hari yang dijanjikan, setelah 100 hari mari sama-sama kita berkomentar.
Pahlawan super harus berubah untuk mengalahkan musuhnya, model kendaraan harus berubah mengikuti trend pasar supaya laku terjual, isi dompet juga harus berubah bila tak mau ditinggal gebetan. 🙂
Dunia pendidikan apa kabar? Masihkah nilai 10 lebih berharga dibanding kejujuran? Berubahlah!
Kita terlalu cinta dan terbiasa dengan sistem yang ada, aturan, dan kata orang. Sekolah mulai dari SD, SMP, SMA kemudian kuliah dan berlomba jadi PNS, di kampung saya kalau belum PNS belum jadi ‘orang’. Teman-teman yang saat ini jadi CEO, Owner, dan sebagainya mohon bersabar karena kalian belum tergolong jadi orang 🙂
Yang dimaksud orang disini adalah sukses secara finansial. Ehem. Sebenarnya yang menjamin kehidupan seseorang itu sistem kah? kata orang kah?
Sebelum naik kelas, anak-anak diwajibkan ikut ujian, jika ada satu mata pelajaran tidak lulus maka harus mengulang satu tahun, tidak hanya sampai disitu tapi juga dapat bonus dicap sebagai anak yang bodoh, nakal, dan gagal.
Lanjut kehidupan bangku kuliah, kejar gelar sarjana ini dan itu. Rela bayar mahal jasa pembuatan skripsi.
Tidak sampai di bangku kuliah saja, para mantan (lulusan) mahasiswa sibuk cari kursus untuk softskill katanya. Kenyataannya banyak diantara mereka bukan cari ilmu tapi cari sertifikat untuk penambah berat dokumen lamaran kerja.
Berikutnya tahapan cari kerja, cari koneksi sekaligus kunci jawaban supaya hasil tes 100 semua. Setelah diterima kerja, kerjakan apa pun yang diperintah bos.
Kejadian berikut adalah menikah kemudian punya anak dan mengulang kejadian paragraf di atas untuk anaknya.
Benarkah kehidupan seperti itu yang diinginkan?
Jika ya, cukup baca sampai disini. Karena paragraf berikut sedikit berbahaya. Jika tidak mari sama-sama kita lanjutkan sampai akhir tulisan ini.
Seorang guru bukanlah orang yang mengajar hal yang sama bertahun-tahun. Guru harus improve diri, belajar hal yang baru, dan mengajar hal yang baru.
Sekolah jangan lagi jadi tempat ngecap orang gagal, bodoh, jadi tempat ramal orang ini akan sukses dan tidak. Jika ada nilai yang masuk kategori tidak lulus, dekati muridnya, lihat masalahnya dimana kemudian diperbaiki, jangan cap anak bodoh.
Kita sering anggap anak-anak pemalas, tidak berbakat. Guru, sekolah, dan kita semua (orangtua, teman, kakak, dll) harus berperan sebagai mentor.
Kita semua harus jadi mentor, jadi orang yang tidak langsung nge-gas ketika anak-anak dalam kondisi down. Kita harus tahu saat anak-anak sedang tidak mau belajar mungkin ada masalah, ada yang tidak disuka. Cari masalahnya! dan selesaikan dengan gaya seorang mentor yang penuh kasih dan cinta 🙂
Berikan kesempatan terbuka pada anak-anak, biarkan mereka memilih cita-cita, jangan persempit pilihan. Biarkan mereka belajar menjalani sesuatu karena tujuan, belajar berani berpendapat, belajar berfikir, belajar bertanya, belajar salah, belajar gagal, belajar beda dari yang lain, belajar mencintai dan patah hati 🙂
Hapus : semua nilai harus 10, bila tidak tercapai artinya gagal. Hapuskan!
Pintar tapi kasar, menganggap rendah pekerjaan orang lain sangatlah tidak baik. Jangan sampai anak-anak dipaksa nilai 10 di sekolah tapi masuk rumah tidak ucap salam. Jangan!
Saya sudah menjalani kehidupan seperti di atas, dimana kalau dapat peringkat selain angka 1 di raport maka saya harus bersembunyi dulu di rumah teman, tidak berani pulang. Ini kejadian saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Selanjutnya saya berangsur menjadi anak yang sedikit ‘aneh’. Ehem, sepertinya tidak perlu saya detilkan kisah silam. Cukup sampai disini. Mari berubah dan salam sayang dari anak yang dulunya sering tidak berani pulang ke rumah.
Salam sayang,
Setuju sekali dengan “belajar gagal”. Menyadari bahwa kegagalan adalah sama normalnya dengan keberhasilan. Semua yang mencoba akan mengalami entah itu keberhasilan atau kegagalan. Berani gagal itu emas. Seperti kata soe hok gie: hidup adalah tentang keberanian. Menghadapi yang tanda tanya.
Saya sebagai alumni perfeksionis merasakan bahwa ketakutan akan kegalalan adalah salah satu faktor penghambat kehidupan saya. Ide yang sempurna tidak ada artinya tanpa eksekusi, eksekusi tanpa keberanian untuk gagal tidak akan pernah terlaksana.
Oleh karena itu, beranilah, bernyalilah semoga dirimu sehebat inginmu!
Salam sayang dari teman, dari saudara yang menginkan kebahagian dirimu.
Halo bang Haddad, salam sayang dari adikmu ini yang sering mengintip catatan dan blog abang.
Hihihi.. sama2 suka ngintip blog kita kalau begitu .. 😀